Aku mungkin tak pernah mengerti apa yang sedang terjadi. Kadang aku ingin marah, berteriak, menjerit, semua ayng bisa kulakukan kalau tiba-tiba aku teringat kepadamu. Kita memang sangat dekat, sedekat embun yang merayap turun di permukaan kaca jendela. Tapi kadang kita bisa menjadi sangat jauh, sejauh jarak yang ditempuh rintik hujan untuk mencapai bumi kembali.
Aku kadang tak bisa mengerti jalan pikiranmu, karena memang Tuhan menciptakan jalan yang berbeda-beda dalam setiap kepala. Aku hanya ingin beberapa jalan kita bersilang dan aku dapat mengiringimu keluar dari persimpangan yang kadang membingungkan dan menyesatkan. Aku tak ingin kita sama-sama tersesat, karena kita sebenarnya berjalan bersama-sama.
Misteri itu tak pernah aku ceritakan kepada siapapun. Meski kadang tiap hari rasanya abu berjatuhan dalam pikiranku, petir menyambar dalam hatiku, namun aku selalu mengenakan topeng termanisku di depanmu.
Tidak. Bukan. Itu bukan topeng. Itu senyum dan wajah bahagia yang sengaja aku ukir untukmu. Meski memang rasanya sakit, tapi setelah melihat binar matamu itu, rasa sakit itu terbayarkan sudah.
Dalam sunyi aku menyimpan rasa percaya kepadamu, Percaya bahwa memang semua ini memiliki arti bagi kita. Kadang ragu menyelinap dalam hati dan mencoba memorak-porandakan semua prasangka yang sudah aku susun dengan susah payah. Tapi mungkin semua itu hanya ada dalam pikiranku. Engkau mungkin tak mau tahu.
Aku berdiri di sebuah kolom tanah yang sanagt tinggi, dengan sayap yang patah dan lubang menganga di ulu hatiku. Aku ingin mencoba terbang dan menghampirimu di seberang lautan api yang menjilat, kadang tersilaukan oleh bayanganmu nun jauh di sana. Meski kadang ternyata aku baru menyadari bahwa kau berada di belakangku dan siap merengkuhku jika aku membutuhkanmu.
Kau tak pernah mengerti apa yang aku simpan untukmu. Kau juga tak pernah mengatakan kepadaku apa yang kau simpan untukku. Kadang aku memilih untuk tidak mengerti, daripada kenyataan itu harus menusukku sekali lagi. Biarlah aku membentengi diriku dengan rasa percaya dan kebaikan yang aku kumpulkan dengan susah payah. Biarlah aku meruntuhkan dinding yang selama ini membatasiku dengan dunia.
Atau mungkin tak perlulah aku meruntuhkannya. Akan kubuat lubang yang pas denganmu untuk masuk dalam duniaku. Dunia yang sangat berbeda dengan duniamu sebelumnya. Dan aku yakin kau akan menyukainya.
Jakarta, 091212
9.12.12
1.12.12
Tuhan, Ibu, dan Kamu
Tuhan tidak pernah membiarkan
kita sendirian. Begitu janji-Nya kepada kita. Kalau kita mau mengingat Tuhan,
maka Tuhan akan mengingat kita. Saat orang-orang lain pergi dan menjauh,
meninggalkan kita sendiri, Tuhan selalu ada bersama kita. Tuhan tak pernah
mengeluh meski kita mengeluh kepada-Nya. Tuhan tak pernah bosan meski kita
merecoki-Nya. Sebaliknya, Tuhan akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan
memberikan apa yang kita mau dan minta kepada-Nya. Tuhan punya cara-Nya sendiri
untuk mendewasakan ciptaan-Nya.
Kadang mungkin kita merasa sangat
sendiri. Sendiri. Meski ditengah jalan atau ditengah keramaian, pasti kita
pernah merasa sendiri, hanya karena kita tidak memiliki seseorang yang tepat
untuk menemani kita dalam keramaian itu. Sungguh ironis ketika meski seribu
orang mengelilingi kita dan kita tetap merasa sendiri, dan satu orang di
samping kita dan kita merasa bahwa seisi dunia sedang bersama kita.
Tuhan tidak pernah membiarkan
kita sendiri. Kalau kita sendiri, Tuhan akan mengingatkan bahwa ada milyaran
sel dalam tubuh kita yang bekerja hanya untuk satu tujuan. Aku. Kamu. Kita.
Sel-sel itu tak pernah mengeluh. Dan bukankah seharusnya hal itu telah cukup
menenangkan kita bahwa kita sebenarnya tidak sendiri. Atau malah sebaliknya,
pemikiran tersebut hanyalah akan makin menambah kesendirian kita.
Pada dasarnya Tuhan tidak pernah
menciptakan kata-kata untuk sesuatu. Kitalah para manusia yang menciptakannya.
Tidak akan pernah kita mengenal panas kalau tidak ada dingin. Tidak akan pernah
ada benar kalau tidak pernah ada salah. Tidak akan pernah ada ramai kalau kita
tak pernah sendiri.
Tuhan mengirimkan malaikat kepada
setiap makhluk untuk membantu hidupnya. Malaikat itu akan membuat kita tegar
dan kuat. Malaikat itu akan melindungi kita dengan segenap jiwa raga, mendoakan
kita dalam setiap doa yang dipanjatkan kepada penciptanya, dan diam-diam
menangis saat merindukan kita. Aku tidak tahu, tapi aku memanggil malaikat itu
dengan sebutan Ibu.
Ibu mengajarkanku bagaimana untuk
tetap berdiri tegar dan kokoh meski sejuta badai serasa tak rela melihatku
tertawa. Ibu tak pernah mengeluh meski sejuta kata aku keluhkan kepadanya. Ibu
hanya akan tersenyum dan membelai diriku dengan lembut, dan sentuhan itu akan
mengusir segala kegalauan yang sempat memerangkap hatiku dalam sepi. Cukup
beberapa kata dari Ibu mampu mengubah diriku dalam satu hari, satu minggu, atau
bahkan sampai kapanpun. Di saat yang lain meninggalkan kita, atau dengan tanpa
sengaja membuat kita merasa sangat sepi, Ibu akan selalu ada. Jauh atau dekat,
sehat atau sakit, Ibu akan selalu berusaha ada untuk kita.
Jadi, kita telah memiliki Tuhan
dan Ibu untuk menjaga dan menemani kita. Mengapa kita harus peduli terhadap
orang lain?
Tapi tidak seperti itu. Tuhan
tidak menciptakan kita bersama-sama diatas bumi yang sama untuk hidup
sendiri-sendiri. Namun Tuhan masih mengizinkan kita untuk menciptakan dunia
dalam pikiran kita kalau kita sedang ingin sendiri. Kalau memang Tuhan ingin
kita hidup sendiri dan hanya mengandalkan Ibu dan Tuhan, Tuhan akan menciptakan
bermilyar-milyar dunia untuk masing-masing orang.
Ibu juga tak pernah mengajarkanku
untuk berpikir buruk terhadap seseorang, siapapun itu, apapun yang dia lakukan
terhadapku, bagaimanapun jadinya, dan apapun alasannya. Ibu mengajarkanku
bagaimana untuk memandang dunia dari berbagai sisi yang berbeda, dan yang
paling sering, sisi dimana kita bisa tertawa dalam melihat dunia. Ibu sanggup
menghapus air mata hanya dengan kata, sedangkan aku, malah menciptakan air mata
dari kata-kata.
Ibu mengajarkan saya untuk terus
peduli dengan orang lain, meski kadang orang-orang tidak terlalu mempedulikan
kita. Ibu menurunkan rasa percayanya kepada saya, nilai yang berarti bahwa
orang lain suatu saat juga akan berubah apabila kita terus memberikan hal-hal
positif kepada siapapun orang itu. Ibu tak pernah mengajarkan saya untuk
menjadi pendendam. Ibu tak pernah mengajarkan saya untuk mengeluh bahwa dunia
tak adil kepada saya dengan tak mengirimkan seseorang bagi saya. Ibu selalu
mengajarkan saya untuk bersyukur. Bersyukur atas semua yang saya dapat dan
rasakan, ingin ataupun tidak.
Cukup bagi saya untuk memaklumi
apa yang sedang saya rasakan sekarang.
Setiap kali saya bersedih karena
merasa sendiri, kata-kata ibu selalu terngiang dan merengkuh saya dalam rasa
tentram. Setiap kali saya merasa dunia tidak adil dan tak ada orang yang mau
peduli, teringat nasihat Ibu bahwa itu bukan sesuatu yang perlu
dibesar-besarkan dan Tuhan pasti punya rencana di balik semua itu. Mungkin
semua masalah itu adalah ujian hidup yang datang sewaktu-waktu dan kita harus
selalu siap menghadapinya. Mungkin Tuhan ingin kita makin dewasa. Masalah ini
hanya batu tanjakan bagi kita untuk bisa naik ke tahap berikutnya menuju
manusia yang lebih dewasa.
Ternyata saya memang lebih dewasa
dari kamu. Saya tak pernah tahu apakah kamu pernah merasakan hal seperti ini
dan berkontemplasi untuk merangkum semuanya. Saya tidak akan bisa marah
terhadapmu, karena saya selalu berusaha berpikir positif kepadamu. Meski
rasanya sangat sulit. Tapi saya terlanjur menganggapmu berbeda. Saya hanya akan
berusaha makin peduli kepadamu, berharap dan menyisipkan namamu dalam doaku
bahwa kamu akan berubah ke arah yang makin baik setelah mengenalku. Karena
kalau kamu tahu, kamu orang pertama yang membuatku bahkan tak mengerti
bagaimana harus menuangkan perasaanku lewat kata-kata, dimana biasanya aku
sangat lihai melakukannya.
131112
26.9.12
cermin
sepertinya aku pernah melihatmu,
tertawa lepas dalam keheningan yang mencekam
meski ragamu terbalut luka dan dendam
aku tahu bahwa kau ada
menemani
mungkin aku tak pernah pergi
mungkin aku tak pernah lari
dari nyata yang kau ubah rupa menjadi sunyi yang mencekat jiwa
aku masih tetap ada
dan berpikir bahwa semua akan baik-baik saja
kalau kau pergi
lebih baik kau pecahkan semua bayangmu dari pikiranku
hingga aku merasa amat sendiri
dan cermin enggan menemani
sendiri tak pernah sesunyi ini kalau aku terus menerus menatap bayangmu
dari jendela di tengah koyak malam yang menitikkan air mata
aku ingin pergi jauh sebenarnya
menghilang bagai butir-butir hujan yang menguar ke udara
mengapa tidak kau renggut saja jiwaku?
hingga aku tak bisa membedakan lagi mana nyata dan mana semu
aku tidak sendiri
bayang cermin itu masih menemaniku
tidak sepertimu yang bahkan tarik ulur dengan waktu
kau mungkin tak pernah tahu
bahwa aku mencoba tersenyum dan mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi dalam hidupku
tetapi rindu ini menancap terlalu dalam dan mengalirkan perih tiap kali sendiri menyergap relungku
lebih baik kau pergi
lebih baik kau pergi
lebih baik kau renggut cermin itu dan pecahkan di depan mataku
sampai akhirnya kenyataan yang akan menamparku
bahwa aku sebenarnya tak ada untukmu
dan tak ada siapa-siapa lagi dalam hidupku
bagaimana bila aku memilih merindu dalam dendam?
menunggu sampai akhirnya nyawaku menjadi debu
dan tetap saja
kau tak akan pernah tahu
tidak akan ada yang pernah tahu
bahwa tiap malam aku mengenangmu
tiap malam aku menunggu seuntai kata yang dapat membasuhku bagai embun beku
sampai aku memutuskan untuk meranggas
dan tetap tak akan ada yang tahu
renggut saja semuanya
dan aku akan berpura-pura dan memasang senyum di muka
percaya bahwa semua akan baik-baik saja
meski bayang cermin itu mengganggu
lebih baik kau hancurkan cermin itu
jadi aku tahu kalau benar-benar tak ada seseorang pun yang menemaniku
dan tak ada yang mengisi bayang di cermin itu
suatu hari, mungkin aku akan memungutnya kembali
menyusunnya kembali
dan menyesali setiap alur retakannya yang mewarnai bayangku
berharap saja agar aku tak menyalahkan siapapun
termasuk dirimu
Jakarta, 260912
8.3.12
Kristal Hujan
Aku mungkin tak pernah melihat salju seumur hidupku. Butiran kristal seputih susu yang melayang jatuh kemudian meresap melalui pori-pori tanah dan menggemburkan bunga favoritku. Mungkin hanya ada dalam anganku. Mungkin hanya ada dalam benakku. Mungkin kristal-kristal indah itu hanya berguguran dalam kepalaku.
Aku hanya melihat hujan dalam hidupku. Jutaan rintik yang berlomba menyerbu bumi yang siaga menerima anugerah dari Yang Kuasa. Hujan yang dengan mistis mengajakku kembali ke masa lalu. Aroma tanah yang meruap merasuk otakku dan tirai-tirai memori seolah dibentangkan dalam pikiranku.
Hujan itu tak pernah menjawab apabila aku bertanya kepadanya. Aku bertanya apakah dia bersedia terus menemaniku dalam curahan rintiknya. Namun dia tidak menjawabku, dia hanya turun semakin deras, seolah mengusap air mataku yang merayap menggurat wajahku.
Aku bertanya apakah hujan membenciku. Dia tak menjawabku. Dengan indahnya dia turun dalam rintik yang membelaiku, memanjakan mataku dengan sihir sinarnya yang mencipta warna-warna indah di pelupuk mata.
Hujan tak pernah absen mengunjungiku. Dia menyapa dalam aura magis yang meninabobokan ketika hatiku yang kalut tak mampu mengantarku ke alam mimpi. Hujan tak pernah mengkhianatiku. Dia menemaniku ketika aku hanya menatap ke dalam cermin dan memaksa diri menggores senyum sembari mengatakan bahwa aku tidak sendiri.
Hujan itu selalu memelukku. Ketika sendi-sendiku mulai goyah, duniaku mulai berpusing, dan ratusan sembilu berusaha mengoyak hatiku. Hujan akan merengkuhku dalam dekap dinginnya. Hujan akan mendekapku dalam kehangatan semu yang kurasakan karena hanya hujan yang mampu melunturkan air mataku.
Hujan itu tak pernah menjelma kristal-kristal jernih yang bisa kusimpan setiap hari. Hujan itu tak pernah mau menemaniku terlalu lama. Hujan itu hanya ingin mengatakan bahwa aku bisa hidup tanpa harus setiap hari menunggu derainya menyapaku.
Hujan itu menemaniku dalam ragu. Hujan itu menemaniku menunggumu.
Jakarta, 080312
Aku hanya melihat hujan dalam hidupku. Jutaan rintik yang berlomba menyerbu bumi yang siaga menerima anugerah dari Yang Kuasa. Hujan yang dengan mistis mengajakku kembali ke masa lalu. Aroma tanah yang meruap merasuk otakku dan tirai-tirai memori seolah dibentangkan dalam pikiranku.
Hujan itu tak pernah menjawab apabila aku bertanya kepadanya. Aku bertanya apakah dia bersedia terus menemaniku dalam curahan rintiknya. Namun dia tidak menjawabku, dia hanya turun semakin deras, seolah mengusap air mataku yang merayap menggurat wajahku.
Aku bertanya apakah hujan membenciku. Dia tak menjawabku. Dengan indahnya dia turun dalam rintik yang membelaiku, memanjakan mataku dengan sihir sinarnya yang mencipta warna-warna indah di pelupuk mata.
Hujan tak pernah absen mengunjungiku. Dia menyapa dalam aura magis yang meninabobokan ketika hatiku yang kalut tak mampu mengantarku ke alam mimpi. Hujan tak pernah mengkhianatiku. Dia menemaniku ketika aku hanya menatap ke dalam cermin dan memaksa diri menggores senyum sembari mengatakan bahwa aku tidak sendiri.
Hujan itu selalu memelukku. Ketika sendi-sendiku mulai goyah, duniaku mulai berpusing, dan ratusan sembilu berusaha mengoyak hatiku. Hujan akan merengkuhku dalam dekap dinginnya. Hujan akan mendekapku dalam kehangatan semu yang kurasakan karena hanya hujan yang mampu melunturkan air mataku.
Hujan itu tak pernah menjelma kristal-kristal jernih yang bisa kusimpan setiap hari. Hujan itu tak pernah mau menemaniku terlalu lama. Hujan itu hanya ingin mengatakan bahwa aku bisa hidup tanpa harus setiap hari menunggu derainya menyapaku.
Hujan itu menemaniku dalam ragu. Hujan itu menemaniku menunggumu.
Jakarta, 080312
21.2.12
Ironi
Aku tak sendiri. Kalau aku merasa sendiri, aku akan menatap cermin. Bukankah bayanganku masih ada di sana, tersenyum kepadaku seolah mengatakan kalau aku tidak sendiri. Ya, aku tidak sendiri.
Aku tak sendiri. Saat aku berdiri menantang matahari dan menengok, bukankah bayang-bayangku masih ada di situ menemaniku. Ya, aku tidak sendiri.
Kemana dirimu pergi dari mataku?
Aku pun tak tahu.
Tapi jangan khawatir, aku di sini tidak sendiri.
Aku tak sendiri. Saat aku terdiam dan merasa sendiri, air mataku akan menghampiriku dan mengguratkan senyum pada wajahku. Ya, aku tidak sendiri.
Aku tak sendiri.
Ada sesuatu dalam dirimu yang dulu pernah kau berikan kepadaku. Tapi aku tidak ingat apakah itu. Yang aku ingat aku telah menguraikan dan memintalnya menjadi sebuah jalinan cerita panjang yang akan kubawa ketika mimpiku akan menjelang. Disana aku akan menemuimu, tersenyum kepadaku.
Aku tak sendiri.
Aku tak sendiri. Saat aku ingin berdiri dan berlari menemuimu, aku hanya akan diam di sini, menunggumu. Walau aku tahu kau tak akan pernah tahu kalau aku masih menunggumu. Ya, aku tidak sendiri.
Kau masih menari di pelupuk mataku. Aku tak sendiri. Kau masih berdengung di telingaku. Aku tak sendiri. Kau masih terucap lembut di bibirku. Aku tak sendiri.
Ya, aku tak sendiri.
Jakarta, 210212
Aku tak sendiri. Saat aku berdiri menantang matahari dan menengok, bukankah bayang-bayangku masih ada di situ menemaniku. Ya, aku tidak sendiri.
Kemana dirimu pergi dari mataku?
Aku pun tak tahu.
Tapi jangan khawatir, aku di sini tidak sendiri.
Aku tak sendiri. Saat aku terdiam dan merasa sendiri, air mataku akan menghampiriku dan mengguratkan senyum pada wajahku. Ya, aku tidak sendiri.
Aku tak sendiri.
Ada sesuatu dalam dirimu yang dulu pernah kau berikan kepadaku. Tapi aku tidak ingat apakah itu. Yang aku ingat aku telah menguraikan dan memintalnya menjadi sebuah jalinan cerita panjang yang akan kubawa ketika mimpiku akan menjelang. Disana aku akan menemuimu, tersenyum kepadaku.
Aku tak sendiri.
Aku tak sendiri. Saat aku ingin berdiri dan berlari menemuimu, aku hanya akan diam di sini, menunggumu. Walau aku tahu kau tak akan pernah tahu kalau aku masih menunggumu. Ya, aku tidak sendiri.
Kau masih menari di pelupuk mataku. Aku tak sendiri. Kau masih berdengung di telingaku. Aku tak sendiri. Kau masih terucap lembut di bibirku. Aku tak sendiri.
Ya, aku tak sendiri.
Jakarta, 210212
6.1.12
Sosok - Terra
Aku mengintip hamparan dunia dari balik kelamnya jubah sang malam. Merobek cinta dan canda yang berserak, tumbuh dan gugur bagai daun-daun cendana. Aku datang membonceng angin utara yang dingin menusuk urat nadi dan menembus aliran darahmu. Membawa hawa langit yang panas dan melagukan senandung yang menyayat hati dan jiwamu.
Aku bisa mendengar setiap desah dan setiap derak dari tarik dan hembus napasmu. Aku dapat mencium aroma ketakutan yang menguar dari tubuhmu dan bercampur dengan udara di sekitarmu. Aku dapat melihat keputusasaan menyelimutimu dalam lingkaran kematian yang bersiap menjemputmu.
Aku dapat membawamu ke tempat yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Bahkan imajinasimu tak akan mungkin dapat menampungnya.
Ya. Aku dapat mengantarmu ke tempat yang lebih indah dari dunia yang dulu ditinggali nenek moyangmu ini. Di sana tak akan lagi ada terik yang membakar dan tak ada lagi udara yang menyesak. Segala bentuk energi yang dapat kau serap dan gunakan sesuka hatimu berlimpah, tak harus kau hemat seperti yang seharusnya dilakukan nenek moyangmu
Manusia-manusia manis yang mudah tergoda dunia. Aku diutus untuk menjemput sisa-sisa dari ras kalian karena bumi ini sudah tak punya daya hidupnya lagi. Esok nanti ketika cahaya kembali menyinari, bumi ini akan kembali hidup dan dihuni oleh manusia yang mau menyayangi tanah kelahirannya sendiri.
Dalam malam panjang, dalam mimpi yang terbentang, dalam kenangan-kenangan yang terbang. Tanah ini akan beristirahat dalam lingkarannya, kerlip cermin akan padam dan malam akan berkuasa. Terbitnya cahaya akan menghapus dosa dan detik-detik yang baru akan mengawasi manusia. Lahir kembali, mati dalam sendiri. Terlelap dalam mimpi dan terjaga dalam sunyi.
Selamat tidur tanah merah! Saat matahari terbit nanti, manusia-manusia yang berada dalam detik baru akan lebih menyayangimu.
Jakarta, 160310
Subscribe to:
Posts (Atom)