Hujan itu tak pernah berbisik sebelum kedatangannya. Menyapa bumi yang rindu akan hadirnya. Membawa derai tawa, gaung riciknya terdengar kemana-mana.
Hujan itu tak pernah berdusta. Dalam rintiknya ia sampaikan rindu anak-anak manusia. Dalam rintiknya ia sampaikan keluh kesah alam raya. Dalam rintiknya ia simpan kesedihan yang ia temukan saat ia mengembara diatas dunia. Dalam rintiknya ia sampaikan harapan akan orang-orang yang merindukannya.
Hujan itu tak pernah mengatakan bahwa dia adalah air mata. Hujan adalah hujan. Bukan langit yang menitikkan air mata. Hujan tidak ingin kita berpikir bahwa bumi hanyalah tempat langit meratap dan berduka.
Hujan itu tetap setia. Kemana angin membawa dia akan patuh dan tak akan menyela. Kemana Tuhan menitahkannya dia akan menunggu dan melakukannya. Kemana dirinya ingin pergi dia selalu bisa menahannya.
Hujan itu tahu aku dimana. Hujan itu tahu aku siapa. Hujan itu tahu semua.
Aku bukan hujan. Aku bukan dia yang mampu mencipta pelangi saat dia berseteru dengan cahaya matahari. Aku bukan dia yang bahkan rumpun dan bunga setia menanti.
Aku bukan hujan. Aku tak mampu sampaikan salam atau rindu yang dititipkan kepadaku. Aku tak mampu membawa keceriaan yang menyeruak hanya karena bertemu denganku.
Aku bukan hujan yang bisa menyembunyikan air matanya dalam rinai ataupun badai. Aku bukan hujan.
Hujan itu tidak menyembunyikan air matanya. Dia menumpahkan semuanya, berharap ada salah satu dari kita menyadarinya. Semakin dia menangis, seolah kita malah semakin menyalahkannya.
Hujan itu tak pernah mengeluh. Dia hanya diam. Sepertiku. Di tengah hujan. Di tengah air mata hujan yang menderas. Di tengah air mataku yang menderas.
Aku bukan hujan. Hujan bukan aku. Namun aku merasa air mata kami kini menyatu.
Jakarta, 151111
No comments:
Post a Comment