23.10.11

Suatu Hari di Sebuah Angkutan Kota

Hari itu panas. Meski angin mampu membuat daun meranggas tapi tak mampu mengeringkan keringatku yang terlanjur menderas. Bergegas aku menyetop sebuah angkutan kota. Dua huruf terpampang menyala di kap depan. Ini jalur yang biasa kunaiki kalau aku mau pulang. Aku naik di depan Studio Modern Photo tak jauh dari sekolahku yang baru saja mengadakan upacara hari besar nasional.
Sepi. Hanya ada tiga penumpang. Satu seorang pria berkulit hitam berambut cepak memakai kaos dipadu celana jeans dan menyandang tas selempangan hitam di bahunya. Satu lagi wanita berjaket yang membawa tas kecil. Raut mukanya suntuk dan beberapa kali tisu mengeringkan wajahnya yang berminyak. Di depan, duduk di samping si sopir berkulit legam yang bertopi sewarna dengan kulitnya dan berkali-kali menyeka tengkuk dengan handuknya, ada seorang pria. Umurnya mungkin hampir separo abad. Rambutnya memutih dan kacamata bertengger di wajahnya.
Aku memilih duduk di dekat pintu agar angin yang bertiup selama angkutan ini melaju dapat mendinginkan badanku. Tak lupa aku merogoh kantongku, mengambil dua lembar uang seribu, mempersiapkannya lebih dulu. Tak lama kemudian angkot melaju.
Hanya berjarak beberapa meter dari situ, di Stasiun Kota Baru, ada lagi yang menyetop angkot yang kunaiki. Seorang ibu. Berjaket biru dan berkerudung coklat muda seperti warna celana dan sepatunya. Beliau naik tidak sendiri. Dua keranjang penuh berisi kue-kue basah seperti lumpia, pastel, sus, dan aneka gorengan naik lebih dulu. Dibantu pemuda dan wanita yang tadi, ibu itu duduk persis di seberangku. Terengah dan tampak kelelahan, meski ini baru jam sepuluh.
Angkot melaju mulus. Lewat Balai Kota Malang, berbelok ke Pasar Burung, Kayutangan, Alun-Alun Kota, semua sudah menjadi pemandangan biasa yang hampir setiap hari kulihat kalau aku pulang sekolah. Dan seperti sudah ditakdirkan, tak ada yang naik angkot itu lagi. Kelihatannya memang penuh. Jujur, yang membuat angkot itu terlihat penuh adalah ibu yang membawa keranjang berisi makanan tadi. Keranjangnya mendapat tempat di tengah, membuat orang ragu untuk masuk atau keluar.
Angkot berhenti di pertigaan dekat kantor pos untuk menurunkan penumpang. Seperti sudah kuduga sebelumnya, wanita tadi kesusahan keluar dari angkot karena keranjang berisi kue itu. Wanita itu harus berjalan menyamping sekaligus membungkuk. Aku terpaksa memiringkan badan untuk membuat jalan yang cukup bagi wanita itu untuk lewat.
Tak berapa lama setelah wanita tadi turun dan membayar, angkot melaju lagi. Aku mendongkol dalam hati. Ibu satu ini tampak tenang-tenang saja meski tahu bawaannya membuat orang lain repot. Tapi apa hendak dikata? Itu semua haknya. Aku memutuskan mengalihkan perhatian dengan menguping pembicaraan mengenai daerah di Kota Malang antara si sopir dan pak tua di sampingnya. Sepertinya seru sekali meski dialog itu dalam bahasa Jawa.
Aku memalingkan wajah. Tanpa sengaja aku menatap ibu di depanku. Wajahnya tampak kuyu. Pipinya mencekung dan ada kantung dibawah matanya. Beliau bersandar di jendela. Mungkin lelah. Tangannya tampak begitu lemah saat menggenggam tas kecil, mungkin berisi dompet dan barang lainnya. Aku pura-pura tak melihatnya. Meski berkali-kali aku mencuri pandang memperhatikan ibu itu karena aku kasihan padanya. entahlah, begitu saja aku merasa kasihan. Sepertinya ibu ini telah bekerja keras membanting tulang dengan berjualan kue seperti ini demi keluarganya.
Tak berapa lama kemudian ibu itu mulai berbicara. Suaranya terdengar khas dan begitu familiar di telingaku. Mungkin tipikal suara ibu-ibu.
"Dibayar pake apa?" ibu itu bertanya dengan menatap lurus ke depan. Mungkin yang ditanya si sopir. Yang ditanya pun segera tanggap.
Sembari melirik lewat spion depan, si sopir berkata, "Sakarep, bu." Terserah? Dari gelagatnya aku tahu kalau sopir ini merasa ibu itu lebih berwibawa darinya, jadi dia menjawab ibu itu dengan logat yang halus. Perkataannya mencerminkan kalau dia sopir yang baik, tahu kondisi penumpangnya.
Ibu itu mengeluarkan sebuah kantung plastik kecil berwarna putih dari dalam keranjangnya dan menyambar beberapa potong lumpia dan memasukkannya, lalu mengulurkannya ke depan. "Pastel mau?" tanya ibu itu dengan percaya diri.
"Sakarep mawon, bu."
Ibu itu memasukkan sepotong pastel lalu mengulurkannya padaku, memberi isyarat agar diberikan kepada si sopir. Aku menurutinya. Sopir itu menerimanya tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun.
Dalam hatiku tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran. Kok mau-maunya si sopir dibayar pakai kue? Apa si sopir begitu baik hati? Apa si sopir sungkan kepada si ibu? Atau karena si sopir lapar, ya? Kalau begitu aku juga bisa dong, bawa makanan terus mengganti ongkos dua ribu dengan sepiring nasi goreng misalnya? Pemikiran lainnya yaitu aku kagum dengan rasa percaya diri si ibu, yang dengan lugas membayar angkutan kota dengan beberapa potong lumpia. Orang ini berani, atau gila?
Yang jelas, ada binar mata kesungguhan terpancar di mata ibu itu. Binar mata dan beberapa harapan dalam doa, semoga jualan hari ini habis dan anak-anaknya bisa makan lagi hari ini…
∙∙∙
Angkot melaju di dekat sebuah pusat perbelanjaan baru yang bisa dibilang baru di kotaku. Umurnya baru beberapa bulan, tapi sudah menyedot pengunjung dari berbagai kalangan. Produk-produk baru diluncurkan dan beberapa waralaba memasang iklan.
Keramaian di tempat itu merupakan tempat yang strategis untuk mengais rezeki. Berapa banyak tukang parkir yang berebut lahan di sekitar mal itu? Berjaga-jaga kalau area parkir mal penuh dan pengunjung akan parkir di luar mal. Dengan begitu uang akan mengalir. Meski sedikit demi sedikit.
Pedagang kaki lima seolah tak mau kalah. Dengan gerobak-gerobak beraneka warna dan makanan beraneka rupa mereka berjejer di sepanjang trotoar berharap orang-orang yang sekedar lewat atau lelah habis berbelanja akan mampir sejenak mengisi perut mereka. Padahal, pastilah di dalam mal tersedia pusat jajanan serba ada. Tapi apa mau dikata, namanya juga usaha!
Warga yang memang sejak awal tinggal di seberang jalan mal itu mulai menggeliat dan menunjukkan bakat bisnis mereka, seolah tak ingin ironi kehidupan menghampiri mereka (masa hidup susah sedang di depan rumah mal berdiri megah?). Mulai dari pedagang buah, es campur, gado-gado, soto, tambal ban, klinik, factory outlet, salon, sampai notaris dan panti asuhan pun ada! Belum lagi warung-warung tetap dekat Stadion Gajayana dan SPBU Pertamina. Kurang meriah apa coba?
Aku tak begitu peduli. Berpuluh kali aku lewat sini dan tak ada yang berbeda dari tempat ini. Semua tampak sama. Hidup yang ritmis dan pada uang selalu berorientasi.
Aku mencuri pandang ke orang di depanku lagi. Ibu itu melongokkan kepala keluar pintu. Mungkin tujuannya sudah dekat-dekat sini.
"Mudhun ten ngajeng'a bu?" Turun di depan atau tidak, tanya si sopir. Si ibu mengiyakan saja. Aku menundukkan kepala lagi. Tetapi tepat di depan sebuah salon ibu itu tiba-tiba berbicara.
"Lho lha kok tutup? Wah, iyo yo, saiki lak wayahe prei! Lha aku dodolan neng endi?" Dengan logat  Jawa yang kental ibu itu mengeluh. Aku setengah terkejut saat ibu itu mengeluh. Angkot berhenti di sebuah tempat di pinggir jalan besar.
Sebuah salon−kulihat dari papan namanya−sedang tutup. Sepi orang. Semua sibuk masing-masing. Bahkan tak banyak orang-orang yang biasanya membawa kantong plastik setelah berbelanja di mal. Lengang.
"Lha kok sepi! Padahal biasane rame masiyo prei, dadi aku dodolan ndek kene. Ndilalah salone tutup. Saiki dodolanku lak ora payu-payu! Blaen iki!" Kok sepi. Padahal biasanya rame walaupun hari libur. Ternyata salonnya tutup. Sekarang jualanku pasti nggak laku-laku. Repot!
"Sampeyan ngider mawon. Sinten ngertos wonten sing tumbas, nggih." Si sopir memberi saran agar ibu itu berkeliling sambil membawa dagangannya. Siapa tahu saja? Kalau memang sudah rezekinya pasti nggak kemana-mana.
Ibu itu menghela napas panjang. Matanya berubah sayu. Hatiku seperti disentuh oleh tangan-tangan tak terlihat dan membuatku ingin menitikkan air mata untuk ibu itu. Seakan aku merasakan bagaimana beratnya perjuangan utnuk mendapatkan selembar uang sepuluh ribu. Raut mukanya begitu mengiba. Antara kecewa, jengkel, tapi yang paling menonjol adalah pasrah. Ibu itu hampir saja kehilangan semangatnya. Padahal aku tahu, dua keranjang kue ini pasti dibuat beberapa jam pagi tadi, melibatkan segenap daya, tenaga, dan biaya. Tak gampang membuatnya.
"Yo wis lah. Matur suwun, nggih." Setelah mengucap terima kasih, ibu itu turun. Angkot agak lama menunggu ibu itu agak jauh baru kembali melaju.
"Kasihan," gumam si sopir. Sebenarnya bukan hanya si sopir yang merasa seperti itu. Aku juga. Aku tak bisa bayangkan kalau hari ini jualannya tak habis, lalu ibu itu merugi. Pulang dengan pilu di hati. Mau makan apa anak-anaknya nanti? Aku menjerit dalam hati. Menahan sebisa mungkin emosi.
Angkot terus melaju. Meninggalkan sepotong kenangan tentang seorang ibu yang berjuang demi keluarga dan rezeki yang kadang tak menentu. Angkot terus melaju sampai ibu itu hilang dari penglihatanku. Dalam hati aku berdoa…
Ya Allah, jangan sia-siakan hambaMu!

Malang, 13 Februari 2009, 21:20

No comments:

Post a Comment