Bangun.
Aku terbangun. Sejenak melirik telepon genggam di samping bantalku. Berharap menemukan pesan singkat itu masuk seperti biasanya. Dulu. Sayang, tidak ada apa-apa di situ. Yang ada hanya foto kita yang menatapku bisu.
Mungkin kau tak pernah tahu aku sering terbangun di tengah malam seperti ini. Atau bahkan tak bisa tidur hingga menjelang fajar esok harinya. Kau? Mungkin tertidur dengan pulasnya dan tetap dapat bangun di pagi hari seperti kebiasaanmu. Entah apa yang membuatku seperti itu.
Aku mulai kehilangan diriku yang dulu. Aku mulai bergerak seperti robot yang tiap pagi harus pergi untuk bekerja dan pulang saat senja. Bahkan tak jarang aku memaksakan diri untuk bekerja sampai larut malam. Untuk apa? Untuk membuat fisikku lelah dengan sendirinya. Dengan lelahnya fisikku, aku jadi tak punya tenaga untuk berpikir apa-apa lagi. Termasuk memikirkan mengapa kau masih belum mau menemuiku sampai saat ini.
Hei.
Aku rindu memanggilmu dengan nama itu lagi. Kau pernah berkata kepadaku kau menyukai nama itu. Nama yang lucu dan memang terdengar kekanakan, tapi kau tak keberatan aku memanggilmu dengan nama itu. Nama yang memang cocok denganmu.
Aku sekarang masih ingat apa saja yang pernah kita lakukan. Aku masih ingat kita pernah pergi kemana saja. Aku ingat kapan saja kita pernah pergi. Aku masih ingat apa saja yang kita lakukan untuk bersenang-senang. Aku masih mengingat cerita-ceritamu. Aku masih mengingat kebiasaan-kebiasaanmu.
Aku masih ingat bagaimana kau biasa makan. Aku masih ingat bagaimana kau biasa tidur. Aku masih ingat bagaimana kau biasa berjalan. Aku masih ingat bagaimana kau biasa berbicara. Aku masih ingat bagaimana kau biasa tertawa.
Aku masih ingat semuanya.
Aku ragu apa kau masih mengingat sesuatu tentang diriku. Atau mungkin lebih tepatnya tentang kita.
kau memang pernah berkata kepadaku bahwa sejatinya semua pertemuan atau hubungan pastilah mengalami suatu siklus yang memang berakhir pada perpisahan. Saat itu aku begitu kalut. Aku masih belum ingin kita berpisah. Aku masih ingin bersama, karena sudah lama sekali aku tidak memiliki seorang sahabat yang juga menganggapku seperti saudaranya sendiri.
Karena itu aku mati-matian tak mau melepaskanmu sekarang.
Terima kasih.
Aku ingat betapa gembiranya diriku melihat beberapa perubahan kecil dari dirimu sejak kau dekat denganku. Aku senang kehadiranku dapat memberikan sesuatu bagi orang lain. Sampai sepertinya aku mengacaukannya dengan perilaku bodohku.
Kau memang punya hak untuk marah kepadaku. Membenciku. Menjauhiku. Atau melakukan apapun sesuakmu kepadaku. Tapi aku juga berhak atas sebuah penjelasan. Sebuah penjelasan yang sampai sekarang masih kau simpan rapat-rapat dan enggan kau bagi denganku.
Rahasia mengapa tiba-tiba kita berpisah dan menjadi orang asing satu sama lain seperti sekarang ini.
Aku berusaha menghubungimu, minta maaf kepadamu, tapi kau bersikap seolah tak peduli lagi kepadaku atau atas semua usahaku. Kau tak tahu kan, betapa jauh dan dalam aku sudah terjatuh dan berapa lama aku merasa sakit hanya untuk memikirkan kesalahan apa yang sudah kulakukan sehingga kau mengacuhkanku.
Kau tidak tahu betapa ketidakpastian itu dapat menyiksa seseorang kan? Dan kau pasti malah menganggap diriku seorang maniak yang selalu ingin cari perhatian darimu. Tapi tidak, coba sekali saja kau berada di posisiku dan kau akan tahu bagaimana rasa sakitnya menjadi orang asing tanpa ada penjelasan bagiku.
Aku tak keberatan kalau kita harus berpisah. Aku telah melalui jalan panjang yang mungkin tak pernah kau lewati, karena kini aku pun menganggapmu kau lari dari masalah ini. Aku hanya tak ingin kita menjadi orang asing. Itu saja. Dan terima kasih kepadamu kini aku membangun tembok yang lebih tinggi lagi untuk melindungi perasaanku.
Aku sangat bisa mengikuti irama permainanmu sekarang ini.
Maaf.
Sangat lebih mudah untuk melupakan sebuah hubungan cinta dimana kedua belah pihak akan merasakan yang namanya patah hati kemudian move on untuk mencari seseorang yang baru. Namun aku tak pernah menyangka bahwa aku akan mengalami sebuah hubungan persaudaraan yang pernah kita bangun dan dalam sekejap hancur menjadi sebuah keterasingan yang aku sendiri tak tahu kapan akan berakhir.
Sangat susah bagiku untuk melupakanmu. Karena aku terlanjur menyayangimu seperti aku menyayangi adikku sendiri. Bagimu, hal seperti ini mungkin baru pertama kau alami seumur hidupmu dimana seseorang benar-benar jatuh kepadamu dan mencurahkan semuanya untukmu, benar bukan?
Kau seseorang dengan hati sekeras baja tetapi membuka diri kepada setiap orang untuk menyayangimu, sedangkan aku seseorang dengan pertahanan sekeras baja tetapi dengan hati sangat lembut hingga sangat mudah menyayangi seseorang. Kita sangat bertolak belakang sebenarnya.
Aku masih akan mengikuti permainanmu sekarang. Aku tidak berusaha membalas dendam kepadamu. Aku masih menyayangimu seperti dulu. Kalau-kalau kau hilang ingatan dan tiba-tiba kembali kepadaku. Namun untuk sementara waktu, aku akan melindungi perasaanku. Banyak luka yang harus kujahit di hatiku karenamu.
Aku hanya bertahan dengan beberapa memori kita berdua, jadi aku tidak melupakanmu sepenuhnya. Aku tidak yakin aku bisa berbuat baik kepadamu lagi kalau aku memang melepaskan semua rasa sakit yang aku rasakan kemarin.
Bagaimana kabarmu?
Aku masih ingat ketika kau memelukku dengan terharu sampai menitikkan air mata ketika aku memberimu hadiah di hari ulang tahunmu. Itu adalah pertama kalinya aku melihatmu menangis dan aku tak pernah melupakan hal itu sampai sekarang.
Aku juga masih ingat ketika kau tak sengaja memelukku di tengah tidurmu, dan aku balik mendekapmu seperti sepasang saudara yang lama tak bertemu. Aku merasa kau begitu rapuh dan aku ingin selalu ada untuk membantumu, sebagaimana seorang kakak kepada adiknya.
Aku masih rindu. Aku tahu kau baik-baik saja tanpaku.
140313
No comments:
Post a Comment