23.3.13

Elipsis: Ouverture


Aku berada di tengah laut. Berdiri di sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang tak seberapa besar. Seperti kapal yang terbuat dari pasir dan tak bergerak sedikit pun. Tak ada sesuatu yang tumbuh di pulau itu. Hanya ada pasir putih halus yang kupijak. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan biru samudra yang tak bertepi. Cakrawala pun terasa samar karena birunya lautan hampir menyamai langit.

Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya angin yang mendesau, mengacak-acak rambutku. Sisanya tak ada apa-apa lagi. Tak ada daratan atau barangkali kapal yang terlihat. Hanya ada aku dan sebilah pisau di tanganku.

Ya, kemudian aku baru menyadari bahwa tanganku sedang menggenggam sebilah pisau. Pisau itu tampak tajam dan berkilat ditimpa sinar matahari. Aku pun baru menyadari hanya ada sepotong kain yang menutupi area pribadiku. Sisa ketelanjanganku dipapar teriknya matahari yang entah mengapa, terasa lembut.

Sendiri. Ya, sendiri.

Aku mulai berjalan mengelilingi pulau pasir kecil itu, hanya untuk mendapati bahwa diriku kembali ke titik awal aku memulainya tadi. Berulang kali aku melakukannya. Awalnya berjalan santai, lama kelamaan berjalan cepat, dan aku berlari seperti orang gila. Tak beraturan. Kesana kemari. Akhirnya aku jatuh terduduk di tengah pulau karena kelelahan.

Aku menatap sebilah pisau di tanganku. Pastilah ada makna di balik aku menggenggam pisau itu. Aku mengamati bilahnya yang berkilat. Panjangnya sekitar dua telapak tanganku. Tipis, panjang, dan tanpa sadar aku merabanya. Bilahnya hangat terkena sinar matahari. Kuat. Keras.

Tanpa sadar aku mengarahkannya ke pangkal tenggorokanku sendiri.

Ah, inikah makna kehadiran pisau ini? Untuk dengan mudah bermain-main dengan rasa sakit ketika kau sendirian terdampar di pulau seperti ini? Menghitung terbit dan terbenamnya matahari dengan menggurat luka di tangan? Mengganjal perut yang lapar dengan sepotong atau dua potong jari? Melukis dengan tinta semerah darah di atas pasir? Atau cukuplah bilahnya menembus tubuh kita di bagian yang kita mau, dengan harapan bahwa kita akan pergi ke tempat baru dan di tempat baru itu kita akan merasa lebih bahagia dan tidak sendiri lagi?

Ujungnya menyentuh kulit diantara tulang selangkaku. Dingin yang janggal menyeruak di sepanjang tulang belakangku. Hanya sedetik yang mungkin menyakitkan ketika ujungnya yang tajam menembus kulit dan dagingku dan pada akhirnya menyentuh batang tenggorokanku, cukup untuk menarikku keluar dari keputusasaan ini. Hanya satu saat yang cepat dan keputusan itu ada di tanganku.

Saat aku melihat sebuah kapal di kejauhan sedang berlayar menuju pulau ini.

Seketika aku bangkit dan menatap ke kejauhan. Ya, memang ada kapal yang sedang berlayar. Melihat dari siluetnya yang makin lama makin besar, aku tahu kapal itu sedang berlayar kemari. Aku menunggunya di ujung pulau. Tidak ada angin yang cukup kencang berhembus saat itu, namun aku tahu kapal itu berlayar dengan kecepatan yang luar biasa. Tidak lama kemudian aku dapat melihat kapal besar itu merapat di dekatku.

Kapal itu seperti kapal layar pada umumnya. Megah. Kuno. Antik. Tiang-tiang layarnya mencuat dengan pongah. Layar-layarnya tidak terkembang. Tidak ada siapa-siapa di dek kapal. Tidak ada, kecuali satu orang.

Seseorang yang tiba-tiba mengejutkanku dengan melompat turun dari dek kapalnya dan mendarat di depanku. Tenggorokanku tercekat. Aku ingin berkata selamatkan aku, tetapi tidak ada suara keluar dari tenggorokanku.

Dia mendekatiku. Tanpa aku sadari dia sudah begitu dekat denganku hingga tak ada jarak di antara kami. Dia memelukku. Aku hanya berdiri di situ, masih tertegun.

Akhirnya aku tidak sendiri. Aku akan ikut orang ini berlayar kemanapun dia pergi. Aku hanya ingin ikut bersamanya. Pergi dari pulau kecil ini. Aku tak peduli meski ia berlayar ke ujung dunia atau berlayar memutari bumi. Aku hanya tak ingin sendiri.

Akhirnya dia melepas pelukannya. Kemudian dia meraih pisau yang masih tergenggam di tanganku. Dia sejenak mengamati pisau itu dan tersenyum.

Secepat dia mendatangiku, secepat itu pula di berbalik memunggungiku dan mulai berjalan menjauhiku. Dia membawa pergi pisau itu. Aku baru sadar setelah beberapa langkah dia meninggalkanku.

Tidak! Tidak! Aku mungkin sudah lupa berapa lama aku sendirian di pulau ini. Aku harus pergi dari sini bersamanya. Kalaupun dia tidak mau membawaku, kembalikan saja pisau itu. Atau sebenarnya dia ingin aku pelan-pelan mati membusuk karena kelaparan sendirian di pulau ini?

Baru aku mengejarnya beberapa langkah, secepat kilat dia berbalik dan menusukku. Tepat di jantungku.

Rasa sakit menyebar tanpa permisi. Aku masih dapat menatap matanya ketika mendadak semua gelap dan aku tak sadarkan diri.

●●●

Aku menjerit dan terbangun. Napasku tersengal. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhku. Aku melihat sekeliling.

Sebuah kamar. Aku sedang berada di tempat tidur. Dengung pendingin udara samar terdengar. Jendela dengan gorden tertutup berada di seberang tempat tidur ini. Sinar lampu yang menembus masuk menjadi satu-satunya penerangan di ruangan ini.

Mimpi itu lagi? batinku.

Aku beringsut, mencoba meraih segelas air dingin yang terletak di samping lampu tidur di lemari di samping tempat tidur ini. Aku meminum isinya dengan sedikit tergesa.

“Kamu kenapa?” Pertanyaan itu membuatku tersedak. Aku terbatuk beberapa kali. Dia mencoba menenangkanku dengan mengelus punggungku lembut. “Eh, maaf. Nggak maksud bikin kamu kaget.”


“Nggak apa-apa,” kataku setelah berhasil menenangkan diri. “Cuma mimpi buruk lagi. Maaf ya aku jadi bikin kamu bangun.”

Dia menggeleng dan tersenyum. “Mimpi yang kemarin kamu bilang itu lagi?”

Aku mengangguk lemah.

Dia merangkulku. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya. Terasa hangat ketika badan kami bersentuhan.

“Itu hanya mimpi. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Semoga,” kataku lirih. Aku merapatkan badanku kepadanya dan menyembunyikan kepalaku di ceruk lehernya.

“Sekarang masih malam, kamu harus tidur lagi. Besok kamu ada kuliah, kan?”

“iya.”

Aku merebahkan diriku di sampingnya. Dia memelukku. Aku meletakkan kepalaku di dadanya. Tangannya mengelus rambutku dengan lembut.

“Selamat tidur lagi.” Dia mengecup rambutku.

“Selamat tidur juga.”

Dalam hati, aku masih penasaran apa makna mimpi itu. Semuanya terlalu familiar buatku.


230313

No comments:

Post a Comment