23.10.11

Sepotong Siang untuk Ibu

Lama aku mengamati gerak-geriknya. Lama aku memperhatikan bagaimana perempuan itu berjalan dengan pelan seolah tak kuasa menyangga tubuhnya. Lama aku memikirkan apakah sesuatu yang akan aku lakukan ini benar atau tidak. Ada seberkas rasa bersalah yang membuncah dalam dada. Tapi bayangan Ibu yang telah renta terus membayang di kepala.
Hari ini tiga hari menjelang lebaran, hari suci dimana hampir separuh penduduk negara ini pulang ke kampung halaman. Pasar semakin ramai, kebanyakan dipenuhi ibu-ibu yang belanja baju baru atau kue lebaran. Termasuk ibu yang satu ini. Penampilannya sama seperti ibu lainnya, baju kurung berkerudung dan jalan yang agak terbungkuk. Dia sedang berhenti di sebuah kios pakaian, memilah pakaian dan sesekali menanyakan harga. Aku tak memedulikan apa yang sedang dia lakukan, tetapi dompetnya yang menyembul dari tas usang yang dibawanya.
Kemarin aku menemui ibuku terbaring di tempat tidur. Badannya demam. Mungkin Ibu kelelahan karena beberapa hari harus mencuci di rumah-rumah tetangga kami untuk menambah penghasilan dan membayar sewa kamar. Kami mengontrak sepetak kamar kontrakan di daerah Menteng Atas, dua ratus ribu sebulan. Bayaran Ibu dan bayaranku sebagai penjaga warung kopi benar-benar pas untuk membayar sewa kamar dan makan seadanya setiap hari.
Sakitnya Ibu menjelang lebaran membuat hatiku makin sedih. Ibu berkata kalau dia tidak apa-apa, tapi aku sebagai anak merasa kurang berbakti sampai Ibuku sakit seperti ini. Lalu malamnya, saat aku menyuapi Ibu makan, ada sedikit kalimat yang Ibu katakan kepadaku.
“Ibu ingin punya baju baru di lebaran ini.” Tanganku membeku. “Sejak bapakmu meninggal enam tahun yang lalu, Ibu nggak pernah lagi punya baju baru. Dulu kan bapakmu sering belikan Ibu baju waktu lebaran gini. Ibu kangen masa-masa itu, Nak.”
Bibirku bergetar menahan perasaan sedih yang tiba-tiba menyesak. Aku bangkit dan membiarkan piring berisi nasi itu tergeletak. Aku berlari keluar, air mataku menderas. Aku merasa berdosa. Sangat berdosa karena aku merasa kurang merawat Ibu. Aku yakin bukan maksud Ibu untuk meminta macam-macam kepadaku, tapi kata-kata Ibu terasa seperti lecutan cambuk bagiku.
Malam itu aku tidur di pangkalan ojek dekat rumahku. Aku tak punya muka bertemu Ibu.
...
Dan siang ini aku akan melaksanakan niatku. Demi Ibu. Aku hanya ingin membahagiakan Ibu. Salah atau tidak, dosa atau tidaknya aku, aku yakin Tuhan Maha Tahu. Setelah memastikan tidak terlalu banyak orang diantara aku dan targetku, aku mulai mendekat. Jantungku seperti melompat-lompat dalam dadaku. Ini pertama kalinya aku melakukan hal ini. Tuhan, maafkan aku!
Setengah berlari aku menyambar dompet yang menyembul itu. Hal berikutnya yang membayangi otakku adalah berlari. Berlari. Aku harus berlari karena ini masalah hidup atau mati. Setelah agak jauh baru aku dengar sesayup suara yang berteriak parau, “Copet! Copet!” Aku tak peduli.
Aku berlari. Berlari. Bayangan Ibu membayangiku. Aku berlari. Orang-orang menoleh ke arahku tapi aku terlalu cepat berlari. Bayangan Ibu memberi kekuatan kepadaku. Berlari. Riuh rendah suara orang meneriakiku tak kuhiraukan lagi. Berlari. Bayangan senyum Ibu mendapat baju baru terus berkelebat di kepalaku. Berlari. Aku tak tahu bagaimana nasib ibu tadi dan aku tidak peduli. Aku terus berlari. Ada secuil rasa bersalah yang membesar dalam hati seperti kertas yang disulut api. Berlari. Air mata bercampur keringat di pipi. Aku berlari menyusuri gang-gang sempit, menerobos kerumunan orang, dan melompati kursi-kursi. Berlari. Berlari hingga tak tahu kemana lagi. Berlari hingga tak ingat mana kanan mana kiri. Pokoknya berlari. Berlari atau mati!
Aku sampai di luar pasar. Sesaat aku limbung. Sesaat aku bingung. Rasa bersalah itu seolah mencengkeram otakku tiba-tiba dan membutakan semua. Aku menoleh kesana kemari, tak peduli orang-orang menatapku dengan aneh. Pandanganku tertuju pada sebuah jalan kecil diantara sebuah lapak dan pagar pembatas. Tanpa berpikir panjang aku berlari di sepanjang lorong itu, tak peduli bagaimanapun beceknya dan bagaimanapun baunya.
Aku seperti hilang arah. Sepanjang aku berlari hanya ada seng yang mengapit kedua sisiku. Semua terlihat sama. Semua berbau sama. Aku tengadah ke langit, matahari di atas kepala. Ini dimana? Ini dimana? Tak ada lagi suara-suara. Aku tersadar. Dompet kecil itu masih dalam genggaman. Kuteruskan pelarian.
Dalam sekejap aku sampai di dekat rumah. Lorong itu seperti menjadi jalan pintas yang disediakan Tuhan bagiku. Lorong itu seperti ajaib, menyembul diantara rapatnya dinding bata rumah-rumah. Dalam hati aku memuji Tuhan. Dalam hati aku mengingat Ibu. Dalam hati aku tak ingat betapa terkutuknya aku.
Begitu aku menginjakkan kaki di rumah, pusing menyergapku. Aku terduduk di atas tempat tidur Ibu. Dunia serasa berputar dan napasku memburu. Dompet yang tadi kuambil kupeluk erat-erat agar tak hilang. Nanti sore Ibu akan kubelikan baju baru.
Ibu? Ibu? Kenapa Ibu tak ada di sini? Sementara aku tak peduli. Pusing ini segera melemparkanku ke alam mimpi.
...
Aku tersentak bangun. Keringat dingin bercucuran di pelipisku. Badanku gemetar dan udara menyesak dalam dadaku. Aku seperti terbangun dari sebuah mimpi yang panjang sekali. Mimpi yang aneh. Mimpi yang melelahkan. Aku hendak mengusap keringatku saat aku sadar ada sesuatu di tanganku. Dompet kecil warna biru. Aku membukanya. Ada beberapa lembar lima puluh ribu. Serasa Tuhan sedang menatapku.
Berhasil, pikirku dalam hati.
Aku bangkit hendak keluar dari rumah, mungkin sekalian membeli baju. Langkahku terhenti saat pintu berayun membuka. Ibu masuk dengan mata sayu dan mendung menggayuti kalbu. Begitu melihatku, rona kegembiraan meruap dan senyum merekah di wajah Ibu. Serta merta beliau memelukku.
“Alhamdulillah, Nak, akhirnya kau pulang juga. Ibu sempat khawatir kemarin malam kau tak pulang. Kau sehat-sehat saja, Nak?” Ibu tak hentinya mengucap syukur. Air matanya mengalir. Hatiku mencelos.
“Aku sehat, Bu.” Kusembunyikan dompet yang kugenggam di sakuku.
“Allah Maha Besar, Nak. Bukan saja kamu kembali, tadi pagi Ibu mendapat THR dari tetangga kita. Tadinya Ibu ingin membelikanmu baju, tapi sepertinya belum rejeki kita. Tadi ada yang mencopet Ibu di pasar saat akan membelikanmu baju untuk lebaran nanti. Tak apalah, asal kamu kembali.”
Jantungku seolah berhenti. “Mencopet Ibu?”
“Iya, anak muda seumuranmu sepertinya. Mungkin dia butuh uang untuk lebaran juga, seperti kita. Akhirnya Ibu ikhlaskan saja untuk dia karena Ibu yakin Allah akan menggantinya. Semoga kamu tidak menirunya.”
Aku tak punya muka dihadapan Ibu yang begitu mulia. Aku mengeluarkan dompet itu dan menyerahkannya kepada Ibu.
Ibu membisu.
Aku bersujud. Air mataku menderas di telapak kaki Ibu.
“Kamu?”
Aku merasakan air mata Ibu jatuh di pelipisku.

Jakarta, 27 September 2010, 21:00

(dimuat di Republika edisi 9 Oktober 2011)

Ayah Pergi di Tengah Hujan

Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.
Aku tahu itu hanya akal-akalan Ibu supaya aku cepat tidur dan tak banyak tanya lagi. Padahal  aku sudah cukup besar untuk mengerti. Umurku sudah sepuluh tahun dan guruku sudah menjelaskan bagaimana terjadinya pelangi. Aku sudah tak bisa lagi dibohongi.
Aku bisa melihat bagaimana Ayah dan Ibu bertengkar lagi malam itu dan mengapa sampai bertengkar lagi. Aku mendengar mereka saling teriak, saling bentak, bahkan hampir saling jambak. Aku bisa mendengar Ayah marah-marah dan memaksa Ibu menjual perhiasannya untuk membayar hutang-hutang Ayah setelah kalah main judi. Aku bisa mendengar Ibu marah-marah dan mengatai Ayah bukan suami yang baik, kerjanya di rumah menganggur saja atau main judi. Kata Ibu lebih baik kawin lagi. Ayah tak bisa terima, lalu marah sampai hampir membanting kursi. Rumahku kacau balau saat itu, seperti ada badai menyinggahi.
Aku meringkuk di sudut kamarku, berharap prahara segera pergi. Aku hanya anak perempuan yang masih duduk di kelas empat SD. Tak seharusnya aku berada dalam suasana tegang seperti ini. Sudah tiga kali lebaran seperti ini. Mau jadi apa aku nanti kalau cara mendidikku saja seperti ini?
Suara hujan yang menghantam atap rumah teredam suara Ayah dan Ibu yang membahana. Ada sesuatu pecah. Ada sesuatu ambruk. Aku meringkuk. Aku menunduk. Aku ingin mengintip. Tapi aku takut. Tapi aku kalut. Kuberanikan diri. Ibu jatuh terduduk. Air matanya menitik. Ayah diam mematung. Tangannya teracung. Ayah mengambil sebuah kotak lalu melangkah pergi meninggalkan Ibu sendiri. Bahkan Ayah pura-pura tak melihatku.
Aku menghampiri ibu. Ibu memelukku sambil terisak pilu. Mau tak mau aku ikut menangis bersama Ibu. Aku bingung. Cemas. Ketakutan menguasaiku. Setiap hari aku dibayangi pikiran bagaimana kalau Ayah tak kembali. Siapa nanti yang menghidupi kami? Aku hanya bisa berdoa dalam hati.
"Ayah kemana, Bu?"
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menjemput pelangi.
...
Hari ini hujan lagi. Seolah langit ikut menangisi keluarga kami. Aku merasa sendiri di dunia ini. Sosok ibu tak mampu memayungi hatiku. Sosok ayah tak mampu menenangkan jiwaku. Meski mereka begitu baik di depanku, entah mengapa mereka tak bisa sebaik itu saat satu sama lain bertemu. Selalu ada pemicu. Selalu ada sesuatu yang membuat suasana menjadi panas, tegang, dan diakhiri dengan tangis Ibu atau Ayah menggerutu. Selalu seperti itu.
Saat aku pulang sekolah, Ayah tak ada di rumah lagi. Ibu menyambutku di depan pintu, dengan mata lebam dan pipi memerah. Aku tahu apa lagi yang terjadi selama aku belajar di sekolah. Aku malas pulang ke rumah. Tak tahan aku melihat Ibu terus-terusan disakiti Ayah dan cuma bisa pasrah. Aku bertanya kemana lagi Ayah sekarang.
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi menyongsong matahari.
Bohong. Kemarin Ibu bilang Ayah pergi menjemput pelangi. Tetapi tadi pagi tak ada satu warna pun yang aku lihat mewarnai rumah ini. Padahal seharusnya Ayah membawa warna-warni bagi rumah kita agar tak selalu tenggelam dalam kesuraman. Aku ingin ada pelangi di rumahku. Sekarang Ibu bilang Ayah pergi menyongsong matahari. Aku sangsi apakah nanti malam atau besok pagi Ayah pulang membawa matahari. Membawa sinarnya yang akan memberikan harapan baru bagi kami? Aku tak percaya.
Paling-paling Ayah pergi main judi lagi.
...
Malam ini seperti malam kemarin lagi. Ada angin ribut menyambangi rumah kami yang reot di bantaran kali ini. Sehingga setiap kali aku tidur, suara teriakan dan sumpah serapah itu merasuk ke dalam alam mimpi, membuatku tak bisa lelap tertidur sampai pagi esok hari. Seperti tak ada guna aku berdoa, kalau mimpi buruk menyelimuti setiap hari.
Aku merangkak ke pintu kamar. Aku mengintip dari celah dinding bambu, ke ruang keluarga yang juga berguna sebagai ruang tidur, runag makan, dapur, bahkan kalau terpaksa, kamar mandi.
Ibu terduduk di kursi. Membenamkan muka dalam-dalam ke lutut. Baju-baju Ibu berserakan di lantai. Ayah berdiri seperti patung seorang pejuang yang pernah aku lihat di jalan dekat sini. Dengan berkacak pinggang dan mata melotot Ayah seperti mau melompat dan menelan Ibu bulat-bulat.
Aku menempelkan telinga, berharap ada yang bisa kudengar. Benar saja.
"Pergi kamu dari rumah ini kalau kamu nggak betah! Rumah ini mau aku jual!" kata Ayah.
"Aku sama Misha mau tidur di mana, Mas? Ini rumah keluargaku! Kamu yang menumpang di sini, kan?" ratap Ibu sembari tersengguk pilu.
"Persetan rumah siapa ini! Pokoknya aku mau jual rumah ini! Toh kalian hidup dari hasil aku main judi! Harusnya kalian senang hati. Siapa tahu kita akan kaya sebentar lagi setelah aku menang kali ini!" Ayah melangkah pergi.
Tetapi Ibu melompat dan merangkul kaki Ayah sambil terisak. "Mas Aryo, aku mohon jangan! Mau tinggal dimana lagi kita ini? Mau menggelandang? Paling-paling uangnya Mas pakai judi lagi"
"Bangsat!" Ayah menendang muka Ibu. Ayah menendangku dengan perlakuannya kepada Ibu. Aku merasakan sakit Ibu.
"Nggak mau tahu mau kemana. Pokoknya rumah ini aku jual! Kalau menang, aku belikan kamu rumah yang lebih besar. Malam ini kita harus pergi!" Ayah membanting pintu di belakangnya. Tinggal ibu sendiri, menutup mukanya dan cairan bening terus mengalir dari matanya.
Aku menghampiri Ibu dan merangkulnya. "Ayah kemana lagi, Bu?" Ibuku hanya menyunggingkan satu senyuman.
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, Ayah pergi memetik bintang pagi.
...
Tidurku terganggu saat ada seseorang yang mengguncang-guncang badanku. Aku terbangun, mengerjapkan mataku. Ada seseorang disamping tempat tidurku, menempelkan telunjuk di bibirnya dan menyuruhku diam.
"Ibu?"
Ibu membawaku pergi. Ibu membawa tas yang agak besar. Apa itu, aku tak tahu karena aku masih setengah bermimpi. Kami berjalan keluar rumah dengan tergesa.
"Kita mau kemana, Bu?"
"Ibu tak tahu, yang pasti keluar dari penjara ini…"
Setengah bermimpi, aku merasakan ini masih malam hari. Setengah bermimpi, aku melihat Ibu berjongkok lalu melakukan sesuatu. Setelah itu, Ibu membawaku berlari menjauh dari tempat itu.
Setengah bermimpi, aku melihat tempat yang baru saja kutiduri sekarang berada dalam kobaran api. Setengah bermimpi, aku mendengar ada suara orang berteriak-teriak panik menyayat hati. Setengah bermimpi, aku merasakan hujan mulai turun lagi.
"Ayah mana, Bu? Kenapa tidak ikut kita pergi?" Ibu hanya tersenyum kecut sambil terus berlari.
Ayah pergi di tengah hujan. Kata Ibu, "Ayahmu pergi bersama kobaran api."

Malang, 22 Februari 2009, 14:14

Suatu Hari di Sebuah Angkutan Kota

Hari itu panas. Meski angin mampu membuat daun meranggas tapi tak mampu mengeringkan keringatku yang terlanjur menderas. Bergegas aku menyetop sebuah angkutan kota. Dua huruf terpampang menyala di kap depan. Ini jalur yang biasa kunaiki kalau aku mau pulang. Aku naik di depan Studio Modern Photo tak jauh dari sekolahku yang baru saja mengadakan upacara hari besar nasional.
Sepi. Hanya ada tiga penumpang. Satu seorang pria berkulit hitam berambut cepak memakai kaos dipadu celana jeans dan menyandang tas selempangan hitam di bahunya. Satu lagi wanita berjaket yang membawa tas kecil. Raut mukanya suntuk dan beberapa kali tisu mengeringkan wajahnya yang berminyak. Di depan, duduk di samping si sopir berkulit legam yang bertopi sewarna dengan kulitnya dan berkali-kali menyeka tengkuk dengan handuknya, ada seorang pria. Umurnya mungkin hampir separo abad. Rambutnya memutih dan kacamata bertengger di wajahnya.
Aku memilih duduk di dekat pintu agar angin yang bertiup selama angkutan ini melaju dapat mendinginkan badanku. Tak lupa aku merogoh kantongku, mengambil dua lembar uang seribu, mempersiapkannya lebih dulu. Tak lama kemudian angkot melaju.
Hanya berjarak beberapa meter dari situ, di Stasiun Kota Baru, ada lagi yang menyetop angkot yang kunaiki. Seorang ibu. Berjaket biru dan berkerudung coklat muda seperti warna celana dan sepatunya. Beliau naik tidak sendiri. Dua keranjang penuh berisi kue-kue basah seperti lumpia, pastel, sus, dan aneka gorengan naik lebih dulu. Dibantu pemuda dan wanita yang tadi, ibu itu duduk persis di seberangku. Terengah dan tampak kelelahan, meski ini baru jam sepuluh.
Angkot melaju mulus. Lewat Balai Kota Malang, berbelok ke Pasar Burung, Kayutangan, Alun-Alun Kota, semua sudah menjadi pemandangan biasa yang hampir setiap hari kulihat kalau aku pulang sekolah. Dan seperti sudah ditakdirkan, tak ada yang naik angkot itu lagi. Kelihatannya memang penuh. Jujur, yang membuat angkot itu terlihat penuh adalah ibu yang membawa keranjang berisi makanan tadi. Keranjangnya mendapat tempat di tengah, membuat orang ragu untuk masuk atau keluar.
Angkot berhenti di pertigaan dekat kantor pos untuk menurunkan penumpang. Seperti sudah kuduga sebelumnya, wanita tadi kesusahan keluar dari angkot karena keranjang berisi kue itu. Wanita itu harus berjalan menyamping sekaligus membungkuk. Aku terpaksa memiringkan badan untuk membuat jalan yang cukup bagi wanita itu untuk lewat.
Tak berapa lama setelah wanita tadi turun dan membayar, angkot melaju lagi. Aku mendongkol dalam hati. Ibu satu ini tampak tenang-tenang saja meski tahu bawaannya membuat orang lain repot. Tapi apa hendak dikata? Itu semua haknya. Aku memutuskan mengalihkan perhatian dengan menguping pembicaraan mengenai daerah di Kota Malang antara si sopir dan pak tua di sampingnya. Sepertinya seru sekali meski dialog itu dalam bahasa Jawa.
Aku memalingkan wajah. Tanpa sengaja aku menatap ibu di depanku. Wajahnya tampak kuyu. Pipinya mencekung dan ada kantung dibawah matanya. Beliau bersandar di jendela. Mungkin lelah. Tangannya tampak begitu lemah saat menggenggam tas kecil, mungkin berisi dompet dan barang lainnya. Aku pura-pura tak melihatnya. Meski berkali-kali aku mencuri pandang memperhatikan ibu itu karena aku kasihan padanya. entahlah, begitu saja aku merasa kasihan. Sepertinya ibu ini telah bekerja keras membanting tulang dengan berjualan kue seperti ini demi keluarganya.
Tak berapa lama kemudian ibu itu mulai berbicara. Suaranya terdengar khas dan begitu familiar di telingaku. Mungkin tipikal suara ibu-ibu.
"Dibayar pake apa?" ibu itu bertanya dengan menatap lurus ke depan. Mungkin yang ditanya si sopir. Yang ditanya pun segera tanggap.
Sembari melirik lewat spion depan, si sopir berkata, "Sakarep, bu." Terserah? Dari gelagatnya aku tahu kalau sopir ini merasa ibu itu lebih berwibawa darinya, jadi dia menjawab ibu itu dengan logat yang halus. Perkataannya mencerminkan kalau dia sopir yang baik, tahu kondisi penumpangnya.
Ibu itu mengeluarkan sebuah kantung plastik kecil berwarna putih dari dalam keranjangnya dan menyambar beberapa potong lumpia dan memasukkannya, lalu mengulurkannya ke depan. "Pastel mau?" tanya ibu itu dengan percaya diri.
"Sakarep mawon, bu."
Ibu itu memasukkan sepotong pastel lalu mengulurkannya padaku, memberi isyarat agar diberikan kepada si sopir. Aku menurutinya. Sopir itu menerimanya tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun.
Dalam hatiku tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran. Kok mau-maunya si sopir dibayar pakai kue? Apa si sopir begitu baik hati? Apa si sopir sungkan kepada si ibu? Atau karena si sopir lapar, ya? Kalau begitu aku juga bisa dong, bawa makanan terus mengganti ongkos dua ribu dengan sepiring nasi goreng misalnya? Pemikiran lainnya yaitu aku kagum dengan rasa percaya diri si ibu, yang dengan lugas membayar angkutan kota dengan beberapa potong lumpia. Orang ini berani, atau gila?
Yang jelas, ada binar mata kesungguhan terpancar di mata ibu itu. Binar mata dan beberapa harapan dalam doa, semoga jualan hari ini habis dan anak-anaknya bisa makan lagi hari ini…
∙∙∙
Angkot melaju di dekat sebuah pusat perbelanjaan baru yang bisa dibilang baru di kotaku. Umurnya baru beberapa bulan, tapi sudah menyedot pengunjung dari berbagai kalangan. Produk-produk baru diluncurkan dan beberapa waralaba memasang iklan.
Keramaian di tempat itu merupakan tempat yang strategis untuk mengais rezeki. Berapa banyak tukang parkir yang berebut lahan di sekitar mal itu? Berjaga-jaga kalau area parkir mal penuh dan pengunjung akan parkir di luar mal. Dengan begitu uang akan mengalir. Meski sedikit demi sedikit.
Pedagang kaki lima seolah tak mau kalah. Dengan gerobak-gerobak beraneka warna dan makanan beraneka rupa mereka berjejer di sepanjang trotoar berharap orang-orang yang sekedar lewat atau lelah habis berbelanja akan mampir sejenak mengisi perut mereka. Padahal, pastilah di dalam mal tersedia pusat jajanan serba ada. Tapi apa mau dikata, namanya juga usaha!
Warga yang memang sejak awal tinggal di seberang jalan mal itu mulai menggeliat dan menunjukkan bakat bisnis mereka, seolah tak ingin ironi kehidupan menghampiri mereka (masa hidup susah sedang di depan rumah mal berdiri megah?). Mulai dari pedagang buah, es campur, gado-gado, soto, tambal ban, klinik, factory outlet, salon, sampai notaris dan panti asuhan pun ada! Belum lagi warung-warung tetap dekat Stadion Gajayana dan SPBU Pertamina. Kurang meriah apa coba?
Aku tak begitu peduli. Berpuluh kali aku lewat sini dan tak ada yang berbeda dari tempat ini. Semua tampak sama. Hidup yang ritmis dan pada uang selalu berorientasi.
Aku mencuri pandang ke orang di depanku lagi. Ibu itu melongokkan kepala keluar pintu. Mungkin tujuannya sudah dekat-dekat sini.
"Mudhun ten ngajeng'a bu?" Turun di depan atau tidak, tanya si sopir. Si ibu mengiyakan saja. Aku menundukkan kepala lagi. Tetapi tepat di depan sebuah salon ibu itu tiba-tiba berbicara.
"Lho lha kok tutup? Wah, iyo yo, saiki lak wayahe prei! Lha aku dodolan neng endi?" Dengan logat  Jawa yang kental ibu itu mengeluh. Aku setengah terkejut saat ibu itu mengeluh. Angkot berhenti di sebuah tempat di pinggir jalan besar.
Sebuah salon−kulihat dari papan namanya−sedang tutup. Sepi orang. Semua sibuk masing-masing. Bahkan tak banyak orang-orang yang biasanya membawa kantong plastik setelah berbelanja di mal. Lengang.
"Lha kok sepi! Padahal biasane rame masiyo prei, dadi aku dodolan ndek kene. Ndilalah salone tutup. Saiki dodolanku lak ora payu-payu! Blaen iki!" Kok sepi. Padahal biasanya rame walaupun hari libur. Ternyata salonnya tutup. Sekarang jualanku pasti nggak laku-laku. Repot!
"Sampeyan ngider mawon. Sinten ngertos wonten sing tumbas, nggih." Si sopir memberi saran agar ibu itu berkeliling sambil membawa dagangannya. Siapa tahu saja? Kalau memang sudah rezekinya pasti nggak kemana-mana.
Ibu itu menghela napas panjang. Matanya berubah sayu. Hatiku seperti disentuh oleh tangan-tangan tak terlihat dan membuatku ingin menitikkan air mata untuk ibu itu. Seakan aku merasakan bagaimana beratnya perjuangan utnuk mendapatkan selembar uang sepuluh ribu. Raut mukanya begitu mengiba. Antara kecewa, jengkel, tapi yang paling menonjol adalah pasrah. Ibu itu hampir saja kehilangan semangatnya. Padahal aku tahu, dua keranjang kue ini pasti dibuat beberapa jam pagi tadi, melibatkan segenap daya, tenaga, dan biaya. Tak gampang membuatnya.
"Yo wis lah. Matur suwun, nggih." Setelah mengucap terima kasih, ibu itu turun. Angkot agak lama menunggu ibu itu agak jauh baru kembali melaju.
"Kasihan," gumam si sopir. Sebenarnya bukan hanya si sopir yang merasa seperti itu. Aku juga. Aku tak bisa bayangkan kalau hari ini jualannya tak habis, lalu ibu itu merugi. Pulang dengan pilu di hati. Mau makan apa anak-anaknya nanti? Aku menjerit dalam hati. Menahan sebisa mungkin emosi.
Angkot terus melaju. Meninggalkan sepotong kenangan tentang seorang ibu yang berjuang demi keluarga dan rezeki yang kadang tak menentu. Angkot terus melaju sampai ibu itu hilang dari penglihatanku. Dalam hati aku berdoa…
Ya Allah, jangan sia-siakan hambaMu!

Malang, 13 Februari 2009, 21:20