9.12.12

Isyarat

Aku mungkin tak pernah mengerti apa yang sedang terjadi. Kadang aku ingin marah, berteriak, menjerit, semua ayng bisa kulakukan kalau tiba-tiba aku teringat kepadamu. Kita memang sangat dekat, sedekat embun yang merayap turun di permukaan kaca jendela. Tapi kadang kita bisa menjadi sangat jauh, sejauh jarak yang ditempuh rintik hujan untuk mencapai bumi kembali.

Aku kadang tak bisa mengerti jalan pikiranmu, karena memang Tuhan menciptakan jalan yang berbeda-beda dalam setiap kepala. Aku hanya ingin beberapa jalan kita bersilang dan aku dapat mengiringimu keluar dari persimpangan yang kadang membingungkan dan menyesatkan. Aku tak ingin kita sama-sama tersesat, karena kita sebenarnya berjalan bersama-sama.

Misteri itu tak pernah aku ceritakan kepada siapapun. Meski kadang tiap hari rasanya abu berjatuhan dalam pikiranku, petir menyambar dalam hatiku, namun aku selalu mengenakan topeng termanisku di depanmu.

Tidak. Bukan. Itu bukan topeng. Itu senyum dan wajah bahagia yang sengaja aku ukir untukmu. Meski memang rasanya sakit, tapi setelah melihat binar matamu itu, rasa sakit itu terbayarkan sudah.

Dalam sunyi aku menyimpan rasa percaya kepadamu, Percaya bahwa memang semua ini memiliki arti bagi kita. Kadang ragu menyelinap dalam hati dan mencoba memorak-porandakan semua prasangka yang sudah aku susun dengan susah payah. Tapi mungkin semua itu hanya ada dalam pikiranku. Engkau mungkin tak mau tahu.

Aku berdiri di sebuah kolom tanah yang sanagt tinggi, dengan sayap yang patah dan lubang menganga di ulu hatiku. Aku ingin mencoba terbang dan menghampirimu di seberang lautan api yang menjilat, kadang tersilaukan oleh bayanganmu nun jauh di sana. Meski kadang ternyata aku baru menyadari bahwa kau berada di belakangku dan siap merengkuhku jika aku membutuhkanmu.

Kau tak pernah mengerti apa yang aku simpan untukmu. Kau juga tak pernah mengatakan kepadaku apa yang kau simpan untukku. Kadang aku memilih untuk tidak mengerti, daripada kenyataan itu harus menusukku sekali lagi. Biarlah aku membentengi diriku dengan rasa percaya dan kebaikan yang aku kumpulkan dengan susah payah. Biarlah aku meruntuhkan dinding yang selama ini membatasiku dengan dunia.

Atau mungkin tak perlulah aku meruntuhkannya. Akan kubuat lubang yang pas denganmu untuk masuk dalam duniaku. Dunia yang sangat berbeda dengan duniamu sebelumnya. Dan aku yakin kau akan menyukainya.


Jakarta, 091212

1.12.12

Tuhan, Ibu, dan Kamu

Tuhan tidak pernah membiarkan kita sendirian. Begitu janji-Nya kepada kita. Kalau kita mau mengingat Tuhan, maka Tuhan akan mengingat kita. Saat orang-orang lain pergi dan menjauh, meninggalkan kita sendiri, Tuhan selalu ada bersama kita. Tuhan tak pernah mengeluh meski kita mengeluh kepada-Nya. Tuhan tak pernah bosan meski kita merecoki-Nya. Sebaliknya, Tuhan akan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan memberikan apa yang kita mau dan minta kepada-Nya. Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk mendewasakan ciptaan-Nya.

Kadang mungkin kita merasa sangat sendiri. Sendiri. Meski ditengah jalan atau ditengah keramaian, pasti kita pernah merasa sendiri, hanya karena kita tidak memiliki seseorang yang tepat untuk menemani kita dalam keramaian itu. Sungguh ironis ketika meski seribu orang mengelilingi kita dan kita tetap merasa sendiri, dan satu orang di samping kita dan kita merasa bahwa seisi dunia sedang bersama kita. 

Tuhan tidak pernah membiarkan kita sendiri. Kalau kita sendiri, Tuhan akan mengingatkan bahwa ada milyaran sel dalam tubuh kita yang bekerja hanya untuk satu tujuan. Aku. Kamu. Kita. Sel-sel itu tak pernah mengeluh. Dan bukankah seharusnya hal itu telah cukup menenangkan kita bahwa kita sebenarnya tidak sendiri. Atau malah sebaliknya, pemikiran tersebut hanyalah akan makin menambah kesendirian kita.

Pada dasarnya Tuhan tidak pernah menciptakan kata-kata untuk sesuatu. Kitalah para manusia yang menciptakannya. Tidak akan pernah kita mengenal panas kalau tidak ada dingin. Tidak akan pernah ada benar kalau tidak pernah ada salah. Tidak akan pernah ada ramai kalau kita tak pernah sendiri.

Tuhan mengirimkan malaikat kepada setiap makhluk untuk membantu hidupnya. Malaikat itu akan membuat kita tegar dan kuat. Malaikat itu akan melindungi kita dengan segenap jiwa raga, mendoakan kita dalam setiap doa yang dipanjatkan kepada penciptanya, dan diam-diam menangis saat merindukan kita. Aku tidak tahu, tapi aku memanggil malaikat itu dengan sebutan Ibu.

Ibu mengajarkanku bagaimana untuk tetap berdiri tegar dan kokoh meski sejuta badai serasa tak rela melihatku tertawa. Ibu tak pernah mengeluh meski sejuta kata aku keluhkan kepadanya. Ibu hanya akan tersenyum dan membelai diriku dengan lembut, dan sentuhan itu akan mengusir segala kegalauan yang sempat memerangkap hatiku dalam sepi. Cukup beberapa kata dari Ibu mampu mengubah diriku dalam satu hari, satu minggu, atau bahkan sampai kapanpun. Di saat yang lain meninggalkan kita, atau dengan tanpa sengaja membuat kita merasa sangat sepi, Ibu akan selalu ada. Jauh atau dekat, sehat atau sakit, Ibu akan selalu berusaha ada untuk kita. 

Jadi, kita telah memiliki Tuhan dan Ibu untuk menjaga dan menemani kita. Mengapa kita harus peduli terhadap orang lain?

Tapi tidak seperti itu. Tuhan tidak menciptakan kita bersama-sama diatas bumi yang sama untuk hidup sendiri-sendiri. Namun Tuhan masih mengizinkan kita untuk menciptakan dunia dalam pikiran kita kalau kita sedang ingin sendiri. Kalau memang Tuhan ingin kita hidup sendiri dan hanya mengandalkan Ibu dan Tuhan, Tuhan akan menciptakan bermilyar-milyar dunia untuk masing-masing orang.

Ibu juga tak pernah mengajarkanku untuk berpikir buruk terhadap seseorang, siapapun itu, apapun yang dia lakukan terhadapku, bagaimanapun jadinya, dan apapun alasannya. Ibu mengajarkanku bagaimana untuk memandang dunia dari berbagai sisi yang berbeda, dan yang paling sering, sisi dimana kita bisa tertawa dalam melihat dunia. Ibu sanggup menghapus air mata hanya dengan kata, sedangkan aku, malah menciptakan air mata dari kata-kata.

Ibu mengajarkan saya untuk terus peduli dengan orang lain, meski kadang orang-orang tidak terlalu mempedulikan kita. Ibu menurunkan rasa percayanya kepada saya, nilai yang berarti bahwa orang lain suatu saat juga akan berubah apabila kita terus memberikan hal-hal positif kepada siapapun orang itu. Ibu tak pernah mengajarkan saya untuk menjadi pendendam. Ibu tak pernah mengajarkan saya untuk mengeluh bahwa dunia tak adil kepada saya dengan tak mengirimkan seseorang bagi saya. Ibu selalu mengajarkan saya untuk bersyukur. Bersyukur atas semua yang saya dapat dan rasakan, ingin ataupun tidak.

Cukup bagi saya untuk memaklumi apa yang sedang saya rasakan sekarang.
Setiap kali saya bersedih karena merasa sendiri, kata-kata ibu selalu terngiang dan merengkuh saya dalam rasa tentram. Setiap kali saya merasa dunia tidak adil dan tak ada orang yang mau peduli, teringat nasihat Ibu bahwa itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan dan Tuhan pasti punya rencana di balik semua itu. Mungkin semua masalah itu adalah ujian hidup yang datang sewaktu-waktu dan kita harus selalu siap menghadapinya. Mungkin Tuhan ingin kita makin dewasa. Masalah ini hanya batu tanjakan bagi kita untuk bisa naik ke tahap berikutnya menuju manusia yang lebih dewasa.

Ternyata saya memang lebih dewasa dari kamu. Saya tak pernah tahu apakah kamu pernah merasakan hal seperti ini dan berkontemplasi untuk merangkum semuanya. Saya tidak akan bisa marah terhadapmu, karena saya selalu berusaha berpikir positif kepadamu. Meski rasanya sangat sulit. Tapi saya terlanjur menganggapmu berbeda. Saya hanya akan berusaha makin peduli kepadamu, berharap dan menyisipkan namamu dalam doaku bahwa kamu akan berubah ke arah yang makin baik setelah mengenalku. Karena kalau kamu tahu, kamu orang pertama yang membuatku bahkan tak mengerti bagaimana harus menuangkan perasaanku lewat kata-kata, dimana biasanya aku sangat lihai melakukannya.


131112