17.11.11

Dingin

Kutuliskan dalam kata yang merapuh ini, tentang sepi yang menghantui mimpiku tiap malam. Tentang lagu yang merengkuh tiap aku diam. Tentang sunyi yang seolah tertawa menghinaku kala aku menyimpan dendam.

Kutuliskan dalam bawah sadarku semua yang terlintas di pikiranku. Tentang darah, air mata, keserakahan, kemarau, senja, semua yang terlintas di depan mata dan semua yang menyerbu gendang telinga.

Kutuliskan dalam rindu ini tentang kau yang melangkah pergi dalam sepi. Tentang kau yang tak lagi tersenyum untukku sendiri. Tentang kau yang membuatku lebih tegar dan dapat memaknai hari.

Dalam bayang-bayang aku mengenang. Dalam sepi aku terkekang. Kau tersenyum dalam otakku, bimbang. Aku ragu. Aku malu. Aku kelu. Lebih baik aku meringkuk di balik keangkuhanku sambil mengoceh siang malam.

Dalam luka yang menggores kalbu, aku berusaha tak mengeluh. Dalam sakit yang merajam hati, aku berusaha tak mengeluh. Dalam dingin yang menggayuti mataku, aku berusaha tetap teguh.

Kalau nanti aku sendiri, kubur suaraku dalam memori. Kalau nanti aku bisu, ratakan lidahku dengan haru yang kini membuncah dari dadaku. Kalau nanti aku kaku, jangan pedulikan lagi nada-nada yang bergaung dari tenggorokanku. Menghilanglah, kejar kilau kata yang kini telah lari entah ke mana.

Kutuliskan dalam dingin yang menggigit ini, aku sendiri. Tak ada seorangpun menancap di hati. Meski sendiri, meski sepi, aku bisa mendengar tawa-tawa ruang dan waktu yang menemani. Sunyi. Aku bukan siapa-siapa lagi.

Jakarta, 171111

Rasa

Kalau dirimu adalah pelangi
aku mau menjadi titik-titik hujan yang membuatmu menyala terang
meski aku tahu aku akan lenyap setelah membiaskanmu

Kalau dirimu adalah mawar
aku mau menjadi tanah-tanah merah yang membuatmu bermekaran indah
meski aku tahu aku akan dilupakan setelah membesarkanmu

Kalau dirimu adalah bulan
aku mau menjadi bintang-bintang kecil yang membuatmu lebih cemerlang
meski aku tahu aku akan meredup setelah mengiringimu

Jakarta, 011009

15.11.11

Air Mata Hujan

Hujan itu tak pernah berbisik sebelum kedatangannya. Menyapa bumi yang rindu akan hadirnya. Membawa derai tawa, gaung riciknya terdengar kemana-mana. 

Hujan itu tak pernah berdusta. Dalam rintiknya ia sampaikan rindu anak-anak manusia. Dalam rintiknya ia sampaikan keluh kesah alam raya. Dalam rintiknya ia simpan kesedihan yang ia temukan saat ia mengembara diatas dunia. Dalam rintiknya ia sampaikan harapan akan orang-orang yang merindukannya.

Hujan itu tak pernah mengatakan bahwa dia adalah air mata. Hujan adalah hujan. Bukan langit yang menitikkan air mata. Hujan tidak ingin kita berpikir bahwa bumi hanyalah tempat langit meratap dan berduka. 

Hujan itu tetap setia. Kemana angin membawa dia akan patuh dan tak akan menyela. Kemana Tuhan menitahkannya dia akan menunggu dan melakukannya. Kemana dirinya ingin pergi dia selalu bisa menahannya.

Hujan itu tahu aku dimana. Hujan itu tahu aku siapa. Hujan itu tahu semua.
Aku bukan hujan. Aku bukan dia yang mampu mencipta pelangi saat dia berseteru dengan cahaya matahari. Aku bukan dia yang bahkan rumpun dan bunga setia menanti. 

Aku bukan hujan. Aku tak mampu sampaikan salam atau rindu yang dititipkan kepadaku. Aku tak mampu membawa keceriaan yang menyeruak hanya karena bertemu denganku. 

Aku bukan hujan yang bisa menyembunyikan air matanya dalam rinai ataupun badai. Aku bukan hujan.

Hujan itu tidak menyembunyikan air matanya. Dia menumpahkan semuanya, berharap ada salah satu dari kita menyadarinya. Semakin dia menangis, seolah kita malah semakin menyalahkannya.

Hujan itu tak pernah mengeluh. Dia hanya diam. Sepertiku. Di tengah hujan. Di tengah air mata hujan yang menderas. Di tengah air mataku yang menderas.

Aku bukan hujan. Hujan bukan aku. Namun aku merasa air mata kami kini menyatu.


Jakarta, 151111