6.2.13

060213

Sejak beberapa hari yang lalu saya memutuskan untuk tidak masuk kerja. Mendadak perut saya tidak bisa diajak bekerja sama. Bukan penyakit yang biasa diderita mahasiswa, saya kira. Sebab, ini menimpa sisi yang berbeda.

Entah mengapa saya tersenyum. Sepertinya doa saya dikabulkan. Beberapa hari ini saya memohon kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa saya. Saya malah senang. Mungkin Anda akan berpikiran bahwa pemikiran saya yang aneh dan gila.

Harga yang harus saya bayar untuk "kesenangan" itu mahal. Ya, saya harus melalui hari demi hari sendiri, tergolek di atas tempat tidur. Untuk mengunjungi seorang dokter kadang saya tak mampu, karena rasa sakit itu kadang bisa menusuk sewaktu-waktu. Tetapi saya merasa sedikit enggan untuk merepotkan orang lain. Saya hanya merasa, saya masih bisa sendiri. Lagipula, seseorang yang mana yang akan membantu saya. Saya jadi trauma, takut dicap saya banyak minta perhatian dari orang.

Tetapi sejatinya, saya sedang dalam fase membutuhkan perhatian dari seseorang. Entah kenapa jari-jari dan lidah ini tak dapat berterus terang ketika Ibu di rumah sana menanyakan kabar saya. Saya berusaha jujur dengan mengatakan bahwa saya sedang sakit. Entah kenapa saya tidak bisa dengan jujur mengatakan bagian mana dari diri saya yang sedang sakit. Saya hanya tak ingin membuat Ibu khawatir mengenai saya. Masih banyak urusan yang harus beliau selesaikan di rumah, daripada mengkhawatirkan saya dan tidak bisa berbuat apa-apa karena jarak memisahkan kita.

Saya berusaha untuk tegar. Tetapi entah mengapa kini saya semakin merindukan dia. Dia yang dulu pernah amat dekat dengan saya sehingga saya terlanjur menyayanginya seperti saudara saya. Dia yang kini mungkin masih merasa malas dan enggan bertemu saya karena kesalahan yang saya buat beberapa waktu yang lalu. Dia yang dulu begitu terbuka dengan saya, kini yang saya tidak mengerti apa-apa tentang dia. Dia yang kini tampaknya lebih menikmati hari-harinya, meski bagi saya, memori itu jauh lebih berharga dari hari-hari yang kini saya lewati sendiri.

Saya merasa kelu tiap kali saya mencoba menghubunginya. Seperti ada rasa kaku yang menyeruak. Saya mencoba mengembalikan keadaan seperti sediakala. Bahkan saya meminta maaf kepadanya atas semua yang saya lakukan kemarin dan menawarkan bagaimana kalau kita mulai dari awal dengan pribadi-pribadi baru yang lebih segar. Saya belum mendapatkan jawabannya hingga saat ini.

Dalam keadaan saya yang seperti ini, saya sangat merindukan dia. Sama seperti saya merindukan keluarga saya di rumah. Seharusnya saya bisa pulang ke rumah, dan akan melupakan semua masalah ini. Tetapi kondisi saya masih menggantung di tengah, saya tidak bisa pulang, dan saya masih belum bisa bertemu dengannya. Saya sendirian.

Saya ingin menunjukkan seberapa besar rasa sayang saya kepadanya. Saya masih seperti yang dulu, seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, tertawa bersama, saling mengingatkan dari hal-hal buruk, bersama mencoba hal baru. Tetapi saya mengubah pola pikir saya menjadi lebih baik. Saya hanya ingin dia tahu. Apa ada yang salah dengan itu?

Kadang saya yang bodoh dan naif ini bertanya kepada diri saya sendiri, kalau saya merindukannya sampai seperti ini, memangnya dia akan merindukan saya seperti ini juga. Allah pun belum memberikan jawaban apa-apa kepada saya. Tetapi dalam setiap pertemuan saya dengan-Nya, saya selalu berdoa untuk dipertemukan kembali dengan dia, seperti dulu lagi. Seperti dulu saat belum ada rasa canggung dan prasangka-prasangka yang hadir diantara kita.

Ketika saya terbaring lemah dan lesu seperti ini, saya ingin sekali untuk dapat kembali bercakap-cakap dengannya. Mendengar suaranya saja, menemani saya melewati hari yang panjang, mungkin itu salah satu obat yang saya butuhkan. Karena mungkin, sakit ini juga datang karena selama beberapa minggu ini saya terlalu banyak memikirkan dia sehingga saya lupa dengan batas saya sendiri. Tetapi semua impas.

Saya memutuskan bahwa saya akan tetap menunggu, mendoakannya dari jauh, dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Apapun saya kepadanya kini, walaupun berbeda, tetapi dia masih sama seperti yang dulu bagi saya. Dia tetaplah adik bagi saya. Adik yang tengah beranjak dewasa. Adik yang kadang membutuhkan kakaknya untuk meluruskan tingkah lakunya. Adik yang kadang butuh sedikit waktu baginya bersenang-senang. Apapun saya bagi dia, itu pilihan dia. Dan itu pilihan saya.

Allah, saya merindukannya. Saya sangat mengerti bahwa Engkau tidak membaca tulisan ini, tetapi lebih dalam lagi, Engkau sudah mengetahui isi hati saya bahkan sebelum saya menuliskan ini. Engkau mungkin sedang mengajariku mengenai sabar dan ikhlas. Saya merindukannya, Allah.

Saya bersedia memberikan apapun yang saya miliki agar kami bisa kembali seperti dulu ketika semua masalah itu belum terjadi. Saya terlanjur menyayanginya, Allah. Namun saya yakin, di balik perpisahan semu yang singkat ini Engkau menyimpan rencana yang Maha Baik untuk kami. Saya harus ekstra sabar dan ikhlas untuk menunggu, karena Engkau sedang menyiapkan waktu, tempat, dan keadaan yang baik untuk kami.

Allah, saya merindukannya.


060213, 17:00
Dalam hujan, rindu, dan sakit yang kadang datang tanpa permisi.
Di atas tempat tidur dan sendiri.
Untuk T.