8.3.12

Kristal Hujan

Aku mungkin tak pernah melihat salju seumur hidupku. Butiran kristal seputih susu yang melayang jatuh kemudian meresap melalui pori-pori tanah dan menggemburkan bunga favoritku. Mungkin hanya ada dalam anganku. Mungkin hanya ada dalam benakku. Mungkin kristal-kristal indah itu hanya berguguran dalam kepalaku.

Aku hanya melihat hujan dalam hidupku. Jutaan rintik yang berlomba menyerbu bumi yang siaga menerima anugerah dari Yang Kuasa. Hujan yang dengan mistis mengajakku kembali ke masa lalu. Aroma tanah yang meruap merasuk otakku dan tirai-tirai memori seolah dibentangkan dalam pikiranku.

Hujan itu tak pernah menjawab apabila aku bertanya kepadanya. Aku bertanya apakah dia bersedia terus menemaniku dalam curahan rintiknya. Namun dia tidak menjawabku, dia hanya turun semakin deras, seolah mengusap air mataku yang merayap menggurat wajahku.

Aku bertanya apakah hujan membenciku. Dia tak menjawabku. Dengan indahnya dia turun dalam rintik yang membelaiku, memanjakan mataku dengan sihir sinarnya yang mencipta warna-warna indah di pelupuk mata.

Hujan tak pernah absen mengunjungiku. Dia menyapa dalam aura magis yang meninabobokan ketika hatiku yang kalut tak mampu mengantarku ke alam mimpi. Hujan tak pernah mengkhianatiku. Dia menemaniku ketika aku hanya menatap ke dalam cermin dan memaksa diri menggores senyum sembari mengatakan bahwa aku tidak sendiri.

Hujan itu selalu memelukku. Ketika sendi-sendiku mulai goyah, duniaku mulai berpusing, dan ratusan sembilu berusaha mengoyak hatiku. Hujan akan merengkuhku dalam dekap dinginnya. Hujan akan mendekapku dalam kehangatan semu yang kurasakan karena hanya hujan yang mampu melunturkan air mataku.

Hujan itu tak pernah menjelma kristal-kristal jernih yang bisa kusimpan setiap hari. Hujan itu tak pernah mau menemaniku terlalu lama. Hujan itu hanya ingin mengatakan bahwa aku bisa hidup tanpa harus setiap hari menunggu derainya menyapaku.

Hujan itu menemaniku dalam ragu. Hujan itu menemaniku menunggumu.


Jakarta, 080312